ETIKA POLITIK DALAM AJARAN AGAMA ISLAM


Muhammad Syukran, S.Sos, M.Si


A.    ETIKA
Secara literal kebahasaan, etika berarti tatasusila, pola laku, atau tatacara pergaulan. Makna dasar dari etika ialah ethos (bahasa: Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “etika” biasanya diartikan sebagai “sistem perilaku atau prinsip-prinsip moral” . Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “etika” adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang ukuran baik dan buruk, merupakan bagian dengan perilaku moral, kewajiban, dan hukuman. Etika membahas masalah moralitas, aturan-aturan formal tentang kriteria baik dan buruk dalam sistem tingkah laku manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata “etika” sering disamakan dengan “akhlak”, akan tetapi ada sebagian ahli membedakannya. Misalnya Ahmad Amin, dalam Kitab al- Akhlaq mendefinisikan akhlak sebagai “ilmu yang menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik dan buruk.” Sedangkan Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menimbulkan bermacam macam pola laku secara spontan dan mudah; tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.” Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh kedua ahli ini terdapat kesamaan antara etika dan akhlak, yaitu sama-sama membahas kriteria baik dan buruk.
Jika kita merujuk pada isi kandungan al-Qur’an, ternyata ada sekitar 500 ayat yang membicarakan tentang konsep atau ajaran etika. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya etika dalam sistem kehidupan manusia. Etika yang diajarkan al- Qur’an mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh Allah sendiri. Aktor yang menjadi contoh dalam bidang etika ini adalah langsung Nabi Muhammad Saw sendiri.       
            Keberadaan Nabi Muhammad Saw sebagai figur keteladanan dalam bidang tingkah laku telah memberikan kontribusi penting dalam penerapan nilai-nilai etika yang dapat ditiru secara langsung oleh manusia. Nabi Muhammad Saw sendiri mengaku bahwa seluruh kandungan al-Qur’an adalah cerminan akhlaknya. Dari sisi ini, al-Qur’an berarti kitab yang mengajarkan etika, akhlak, atau moral bagi kehidupan manusia. Maka, tidaklah mengherankan jika kajian etika politik pun dapat dirujuk kepada al-Qur’an.
Etika Qur’ani mempunyai ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani sekurang-kurangnya mempunyai lima ciri utama: pertama, rabbani; kedua, manusiawi; ketiga, universal; keempat, keseimbangan; dan kelima, realistik . Ciri rabbani menegaskan bahwa etika Qur’ani adalah etika yang membimbing manusia ke arah yang benar atau jalan yang lurus. Ciri manusiawi berarti etika Qur’ani memperhatikan dan memenuhi fithrah manusia serta menuntunnya agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat . Ciri universal ialah etika Qur’ani membawa misi kasih sayang kepada umat manusia di seluruh dunia ,menegakkan kedamaian, menciptakan keamanan dan ketenangan baik secara individual maupun komunal .Ciri keseimbangan artinya mengajarkan bahwa manusia memprioritaskan kepentingan ukhrawi, namun tidak boleh melupakan kepentingan duniawi, dan memenuhi keperluan rohani tanpa mengabaikan keperluan jasmani. Sedangkan ciri realistik adalah etika Qur’ani memperhatikan kenyataan hidup manusia. Al- Qur’an memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja dan berkarya, memperhatikan tingkat kemampuan manusia dalam menjalankan kewajiban dan sekaligus memberikan keringanan bagi yang tidak mampu melakukannya.

B.     POLITIK
Sedangkan definisi kata “politik” itu sendiri adalah berasal dari kata “polis” (bahasa Yunani) yang artinya “Negara Kota”. Dari kata “polis” muncul beberapa kata di antaranya:
1.      Politeria artinya segala hal ihwal mengenai Negara.
2.      Polites artinya warga Negara.
3.      Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan.
4.      Politicia artinya pemerintahan Negara.
Dari uraian di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam suatu system politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari system tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya. Dan Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Dari definisi di atas, kegiatan berpolitik terkait dengan Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku.

C. ETIKA POLITIK
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan; ketiga, membangun institusiinstitusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. “Hidup baik bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warga negara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan etika sosial.
Sedangkan jika dikaitkan dalam konsep agama, dalam hal ini adalah agama Islam, dapat dipahami bahwa etika politik Islam adalah seperangkat aturan atau norma dalam bernegara di mana setiap individu dituntut untuk berperilaku sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Adapun mengenai aplikasi nilai-nilai etika tersebut merujuk kepada pola kehidupan Nabi Muhammad Saw baik dalam kehidupan secara umum maupun secara khusus, yaitu dalam tatanan politik kenegaraan.
Tidak diragukan lagi bahwa sistem kepemimpinan yang paling sempurna dan ideal adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. Sistem kepemimpinan yang dipraktikkan Rasulullah didasarkan atas kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah yang memiliki sifat-sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Keempat sifat inilah yang mewarnai pola laku dan kebijakan Rasulullah dalam memimpin umatnya. Setelah kewafatan beliau, sifat-sifat ini tidak dimiliki sepenuhnya oleh empat khalifah sesudahnya. Namun, salah satu sifat itu tetap menonjol dalam sistem kepemimpinan mereka, seperti sifat shiddiq sangat menonjol dalam kepribadian Abu Bakar. Sifat amanah menjadi ciri khas kepemimpinan Umar bin Khattab. Sifat tabligh sangat menjiwai Utsman bin ‘Affan. Dan sifat fathanah (cerdas dan berpengetahuan luas) menjadi karakteristik Ali bin Abi Thalib. Sistem kepemimpinan umat pasca kewafatan Rasulullah menjadi sebuah model untuk kepemimpinan umat masa-masa berikutnya. Memang benar bahwa Rasulullah tidak meninggalkan wasiat mengenai penggantinya untuk meneruskan kepemimpinan, tetapi para sahabat dapat menilai di antara mareka yang lebih berhak dan pantas untuk memimpin. Maka, Abu Bakar sebagai khalifah pertama yang diangkat berdasarkan musyawarah para sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar. Kemudian, tampil Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua berdasarkan kaderisasi yang dilakukan Abu Bakar dan dimusyawarahkan bersama sahabat-sahabat lain pada masa hidupnya. Selanjutnya, khalifah yang ketiga, Utsman bin ‘Affan dipilih berdasarkan musyawarah tim formatur yang dibentuk oleh Umar bin Khattab semasa hidupnya, yang diketuai oleh Abdurrahman bin ‘Auf. Setelah itu, kepemimpinan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, sebagai khalifah keempat, yang diangkat oleh mayoritas kaum muslimin. Namun, ada juga pihak yang tidak setuju karena perbedaan prinsip dan kepentingan. Sejarah mencatat bahwa sejak akhir pemerintahan Utsman bin ‘Affan sampai pemerintahan Ali bin Abi Thalib, situasi politik terus bergejolak. Kemudian, sistem kepemimpinan berganti dengan dinasti, yaitu Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyyah dan dinasti-dinasti lainnya.

D. TUJUAN  ETIKA POLITIK
Etika, atau filsafat moral mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar baik? Apakah menurut agama tertentu? Bisa iya, bisa juga tidak! Tapi yang penting adalah standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri kita tercinta ini.
Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga Negara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, akan tetapi membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warga negara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, pengkhianatan dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan symbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Tuntutan pertama etika politik adalah “hidup baik bersama dan untuk orang lain”. Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.
Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. “Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur”. Dari sudut koherensi, pernyataan ini tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan.
Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politik, cenderung mandul. Namun bukankah real politik adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subjek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi institusi yang lebih adil.
Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini antara lain meliputi kekuasaan sebagai amanah, musyawarah, prinsip keadilan sosial, prinsip persamaan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia, prinsip peradilan bebas kepentingan, prinsip perdamaian dan keselamatan, prinsip kesejahteraan, prinsip ketaatan rakyat.
Politik Islam adalah aktifitas politik yang didasari oleh nilai/prinsip Islam tersebut di atas, baik dari titik tolak ,program, agenda, tujuan, sarana dan lainnya harus sesuai dengan petunjuk Islam. Oleh karenanya, di lapangan, politik Islam harus tampil beda dengan politik non-Islam. Jika politik konvensional bisa menggunakan cara apa saja untuk mencapai tujuannya, maka politik Islam tidak boleh demikian. Ada variabel lain yang harus diperhatikan, seperti etika Islam, ketentuan hukum Islam dll. Bukankah dalam kitab suci al-Qur’an sendiri, Allah mengatakan dalam Surat At-Tin dengan istilah asfalas safilin, lebih rendah ketimbang binatang. Manusia bisa terjerembab pada level itu. Karenanya, kita harus selalu wapada, berjihad melawan hawa nafsu. Jangan sampai larut dan terhanyut pada apa yang Pujangga Ranggawarsita sebut sebagai “zaman edan”.

F. ETIKA POLITIK DI INDONESIA
Jika kita perhatikan semenjak era reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite dalam setiap jejak perjalanannya membuat kita menjadi “miris”.
sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan individualisme dan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir demikian.
Jika kondisinya seperti itu, maka akan muncul pertanyaan; Ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini? Dalam praktik keseharian, politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis, dari pada kekuasaan yang berwajah populis dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara apa pun, meski bertentangan dengan pandangan umum.
Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya, semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang politik dan bidang lainnya menuju ke arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang.
Kita boleh bangga negara kita sebagai negara demokrasi yang damai terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Kita boleh bangga karena pemilu yang kita selenggarakan pasca reformasi berlangsung ramai dan damai. Akan tetapi fenomena politik yang menyeruak belakangan ini mengarah pada arus balik yang cenderung mengotori demokrasi. Demokrasi pada titik ini tercederai antara perilaku para politisi dengan nilai-nilai yang dibuatnya sebagai landasan etis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Contoh kasus yang mencederai etika politik di Indonesia. Soal etika dan perilaku politik, para pemimpin nampaknya juga masih perlu belajar banyak bahkan perlu belajar dan memahami konsep etika politik dalam Islam. Di negara kita tercinta ini banyak terjadi baik ditingkat nasional maupun daerah. Misalkan dalam pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu berarti si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun kedepan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Namun, jika di tahun pertama atau kedua si A kemudian ’loncat pagar’ ikut pilkada demi merebut jabatan kepala daerah entah gubernur atau walikota atau bupati, tidakkah ia sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat? Apalagi jika si A menang dan akhirnya melepas jabatannya di parlemen.
Itulah di antara salah satu contoh hasrat berkuasa para elit politik kita yang begitu menggebu-gebu sampai-sampai mampu mengalahkan etika politik meskipun juga sebenarnya banyak para elit politik negeri kita yang juga birsikap amanah. Jika hasrat tersebut muncul, maka biasanya membuat si A sanggup menabrak rambu-rambu politik, baik di lingkungan internal partainya maupun eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan atau melanggar peraturan pun sanggup dilakukannya di kemudian hari. Maka jika hal itu terjadi, Negara akan rusak dan rakyat menderita punya pemimpin seperti itu.
Fenomena hasrat berkuasa yang membara itu ternyata bisa juga berwujud sebaliknya: dari eksekutif ingin ’lompat pagar’ ke legislatif. Itulah yang diperlihatkan dalam waktu beberapa bulan kemarin yakni ada salah seorang Gubernur dan Bupati di negeri ini, yang ingin meraih kursi di DPR RI. Padahal dia seharusnya memiliki komitmen untuk menduduki jabatan itu selama lima tahun. Jangan sampai di tengah-tengah harus ganti arah. Sudah diberikan amanah dan itu harus dijalankan sesuai dengan waktunya,”
Dinegeri ini marak terjadi penyebaran “virus-virus pemikiran” yang menghalalkan segala cara untuk diperaktekkan demi mempertahankan eksistensi dirinya.

G. PENGUATAN ETIKA POLITIK ISLAM SEBAGAI TAWARAN
Francis Fukuyama (1999) menyebutkan bahwa memang setiap perubahan akan merangsang terjadinya guncangan (disruption). Guncangan karena adanya distingsi antara nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah masyarakat. Guncangan bisa juga merupakan shock culture akibat ketidaksiapannya menjalani perubahan yang diluar kerangka nalarnya.
Tetapi satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa nilai-nilai agama dapat digunakan untuk membuat politik lebih berarti. Nilai-nilai keagamaan juga memberikan pengaruh penting pada kultur politik dan mempengaruhi kecenderungan individu maupun masyarakat ke arah pola-pola tertentu kehidupan politik. Karena itu dalam "negara-negara baru" agama sedang mengalami proses penafsiran kembali. Penafsiran itu berkisar pada upaya perumusan sistem politik yang tetap mempunyai etika politik dan budaya politik yang kurang lebih Islami.
Dan inilah tantangan yang dihadapi demokrasi modern di tengah perubahan yang bergulir begitu cepat. Yaitu tatanan sosial yang melemah dalam kerangka kebersamaan. Perilaku menyimpang pada etika politik di kalangan politisi salah satunya disebabkan oleh guncangan tersebut. Mereka tidak siap untuk menjalani perubahan yang begitu luar biasa sementara secara intrinsik mereka masih terjebak dengan nilai (kesadaran) masa lalunya.
Karena itu, standar etika perlu ditegakkan melalui barometer yang dapat dipertangungjawabkan secara empiris dan praksis. Dalam konteks itu, karena itu, dalam hal ini konsep etika politik islam bisa menjadi tawaran yang baik untuk mengobati negeri kita yang sedang dirundung sakit ini terutama para elit politiknya.
Ada tiga tujuan yang hendak dicapai dari etika politik, yaitu terciptanya kehidupan bersama dan untuk orang lain secara baik (to be a constituent in a ”‘good life’ with and for others); memperluas ruang lingkup kebebasan baik dan bertanggung jawab; dan membangun institusii-nstitusi yang adil (just institutions). Ketiga alat ukur etika politik ini dapat diimplementasikan melalui pembacaan terhadap perilaku politik seluruh warga negara, khususnya kaum elit negeri kita.
Kritik, kontrol, dan segala macam input untuk negara harus diletakkan dalam kerangka kebaikan bersama. Bukan dalam rangka mendapatkan ”durian runtuh”. Eksistensi kepemimpinan melalui konsensus lima tahunan harus didukung dan ditoleransi selama berada dalam koridor kebersamaan. Begitupun kontrol yang dilakukan oleh rakyat terhadap legislatif, yudikatif dan eksekutif atau control yang dilakukan oleh legislatif terhadap eksekutif harus mengacu pada kepentingan bersama rakyat, bukan pada lembaga. Dengan cara seperti itu, maka Negara kita akan menjadi Negara dengan “religious state” yang memperhatikan nilai-nilai agama dalam hal ini agama Islam.
Dengan cara seperti itu, maka yang biasanya dikenal bahwa politik itu kotor, korup, kejam, tak manusiawi, dipenuhi dengan taktik dan intrik demi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Saling menyikut bahkan terhadap teman sekalipun, karena dalam politik tidak ada pertemanan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan bisa dibenahi menjadi baik dan mulia.
Namun demikian, pertautan antara moral dan politik perlu medapat perhatian yang lebih, sebab, moral merupakan salah satu faktor kunci yang diharapkan mampu berperan untuk memperbaiki krisis bangsa. Moral dianggap sebagai sumber inspirasi dan kekuatan etis yang dapat memberikan wajah manusiawi terhadap proses pembangunan politik.
Di sinilah, pemikiran tentang revolusi moral politisi muncul dan merupakan kebutuhan mendesak berdasarkan kenyataan bahwa hingga kini sistem politik bangsa Indonesia belum dapat menyediakan cara-cara yang dapat membawa bangsa ini keluar dari krisis. Perubahan moral politisi menjadi hal yang penting untuk agenda perbaikan bangsa mengingat di tangan merekalah segala kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat dipertaruhkan. Mereka adalah pemegang kekuasaan yang dapat menentukan hitam-putihnya bangsa ini.
Revolusi moral para politisi adalah suatu ikhtiar menuju pemerintahan yang bersih. Upaya ini bukan semata-mata bermaksud untuk melakukan perubahan sistem, namun juga perubahan signifikan pada moralitas yang dikedepankan para politisi. Asumsi ini berdasar pada argumentasi bahwa sistem tetap memiliki “ketergantungan” terhadap siapa yang mengatur atau menjadi penguasanya. Sistem sebaik apa pun, tanpa ada mekanisme kontrol yang kuat dari masyarakat, tetap bisa diselewengkan oleh penguasa. Bahkan, sistem bisa diciptakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Bukankah kita juga senang jika para pemimpin sungguh-sungguh mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Etika dan perilaku sama-sama berkait dengan moral, sedangkan moral diturunkan dari norma dan nilai. Jadi, jika etika dan perilaku politik para pemimpin sungguh-sungguh mengindahkan moral yang sesuai dengan norma dan nilai yang kita junjung tinggi, niscayalah persoalan dan masalah yang menimpa bangsa ini tak akan terlalu banyak.
Meskipun memang sulit memberi penilaian etis tidaknya kepada mereka yang berperilaku politik seperti itu (kotor), karena dasar hukumnya memang tidak ada. Namun, etika memang bukanlah soal hukum (peraturan tertulis), karena etika haruslah dilandasi dengan apa yang di Indonesia disebut ’kepantasan’ atau ’kepatutan’. Jadi, ia haruslah mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Ia juga harus memperhatikan kelaziman-kelaziman serta suasana batin masyarakat sesuai konteks waktu dan perkembangan situasi kondisi. Ada nalar, juga rasa, yang mestinya diseimbangkan. Dengan demikianlah kekuasaan tak semata berorientasi kepentingan praktis, melainkan alat belaka untuk melayani.
Etika terkait dengan hakikat kebaikan dan keburukan. Etika menjadi penjelas bagi kita semua bahwa ada perbuatan yan digolongkan baik dan ada yang buruk. Dengan demikian, maka etika politik juga menjelaskan tentang mana politik yang baik dan mana yang buruk. Kewajiban kita sebagai orang yang memiliki religiositas adalah mengikuti politik yang baik dan menjauhi politik yang buruk.
Dalam praktik kehidupan politik di negeri ini, politisi tampaknya memahami hakekat politik secara sempit dan konservatif. Politik dimengerti terbatas pada cara bagaimana seorang politikus atau parpol dapat memenangkan pemilu, meraih kursi atau posisi di legislatif dan eksekutif, kemudian melanggengkannya sehingga memperoleh posisi “terhormat” dalam masyarakat. Di samping itu, terjun ke “dunia” politik dianggap menjanjikan penghasilan besar lewat jalan pintas, tanpa syarat pendidikan tinggi. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang memandang politik sebagai salah satu cara untuk menata kehidupan negara agar terwujud kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat.

Kebanyakan politisi masih dikuasai hasrat berkuasa ketimbang sebagai “penyambung lidah” dan penyalur aspirasi rakyat. Tanpa ada beban moral sedikit pun, mereka kerap melupakan begitu saja janji-janji kampanyenya setelah mereka berkuasa. Pada titik inilah, masyarakat dibuat kecewa, sinis dan skeptis dengan politik.
Itulah sekelumit gambaran singkat dan sederhana akan kondisi negeri kita tercinta yang carut marut ini. Akan tetapi kita harus tetap optimis demi untuk kemajuan Negara ini. Sebagai kata akhir dalam orasi ilmiah ini, mari kita berdo’a, dan berusaha memberikan arahan dan kritik yang sifatnya membangun bagi para pemangku jabatan di negeri ini agar selalu bertindak lebih baik, dan lebih baik dikemudian hari dan menerapkan etika politiknya. Sehingga dengan demikian, politisi kita diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten pada kebenaran, Mengutip kata- kata tokoh moral India Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa salah satu dosa sosial yang menjadi penyebab merosotnya kualitas kehidupan masyarakat ialah penyelenggaraan kehidupan politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar (politics without principles). Kehidupan politik saat ini lebih banyak berisi permainan uang, kata dan perebutan kuasa.

PENUTUP
Melihat perkembangan realita politik dan tingkah laku para elit politik kita yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sudah jauh melanggar etika berpolitik yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena mereka lebih mengutamakan faktor-faktor kepentingan yang sifatnya sesaat bukan yang hakiki. Kepentingan individu atau kelompok lebih ditamakan dan terkesan melupakan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Karena itu, mudah-mudahan pendidikan etika politik Islam bisa menjadi obat untuk mengarahkan kepada yang lebih baik.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun kepada para elit politik pemangku jabatan dinegeri ini tentunya harus terus di sampaikan dan diperjuangkan demi kebaikan negeri ini, saat ini, dan dimasa yang akan datang.
Dunia pendidikan sebagai salah satu lembaga pendidikan yang mencerdaskan generasi bangsa dan disitu negara Indonesia menggantungkan harapannya, mudah-mudahan selalu menjaga independensi dari kepentingan politik dan tentunya harus selalu memperjuangkan pendidikan politik yag berbudi.
Para Insan pendidik yang ada di lingkungan Lembaga pendidikan terutama yang berada di fakultas atau jurusan ilmu politik atau ilmu politik Islam sebagai salah yang bertanggungjawab di dalam “melahirkan” atau “memproduksi” para generasi penerus bangsa dalam bidang ilmu politik diharapkan selalu memberikan teladan, konsistensi dan arahan yang baik ketika menyampaikan dalam bentuk perkuliahan atau diluar perkuliahan.




Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel